BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Setiap sendi kehidupan yang dijalani manusia mempunyai
muatan ibadah di sisi Allah SWT. Di dalam terminologi fiqih. Ibadah di bedakan
menjadi dua macam yaitu ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Ibadah mahdhah
adalah ibadah yang mempunyai tata cara tertentu dan aturan-aturan yang tertentu
pula. Sedangkan ibadah ghairu mahdhah adalah ibadah yang tidak di tentukan tata
cara dan bersifat umum.
Pada pembahasan tentang ibadah khususnya shalat, thaharah
menempati posisi yang sangat penting dalam pelaksanaannya karena thaharah
adalah syarat mutlak sah dan tidaknya shalat yang dilaksanakan oleh seorang
muslim.
Thaharah secara bahasa berarti nazhafah (kebersihan) atau
bersih dari kotoran baik yang bersifat nyata seperti najis maupun yang bersifat
maknawiyah seperti aib.
Adapun secara syar’I thaharah adalah menghilangkan hal-hal
yang dapat menghalangi kotoran berupa hadast atau najis dengan menggunakan air
dan sebagainya sedangkan untuk mengangkat najis harus dengan tanah.
Shalat secara etimologi kata shalat berasal dari bahasa arab
yang berarti do’a. secara terminologi shalat adalah yang terdiri atas beberapa
ucapan dan perbuatan, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam
sesuai dengan syarat dan rukun-rukun yang telah ditetapkan.
Menurut bahasa puasa berarti imsak atau menahan, sedangkan
puasa menurut syariat ialah menahan dengan niat ibadah dari makanan, minuman,
hubungan suami istri dan semua hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbitnya
fajar hingga terbenam matahari.
Zakat menurut bahasa berarti kesuburan, kesucian, pensucian
dan keberkataan. Sedangkan menurut syara’ zakat adalah pemberian yang wajib
diberikan dari harta tertentu, menurut sifat-sfat dan ukuran tertentu kepada
golongan tertentu.
2.
Rumusan Masalah
Menurut tradisi kitab-kitab fiqih pembahasan thaharah selalu
ditempatkan pada poin yang pertama karena thaharah termasuk ibadah pokok yang
diwajibkan sebagaimana halnya ibadah-ibadah pokok lainnya seperti shalat, puasa
dan zakat.
Di antara bersuci yang diperintahkan ialah wudhu, mandi dan
membersihkan najis dari badan dan pakaian dan semua itu inti dari bersuci.
Shalat dalam agama islam merupakan ibadah yang paling utama
karena demikian utamanya, maka shalat menjadi pembeda antara orang yang beriman
dengan yang tidak beriman. Rasulullah SAW menyatakan dalam hadistnya :
barangsiapa yang meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja, maka ia telah kafir
yang nyata (H.R Tabrani)
Kemudian Rasulullah SAW menegaskan bahwa shalat merupakan
tiang agama.
Puasa di bulan Ramadhan adalah rukun Islam yang keempat.
Hukumnya fardu ain atas setiap muslim yang sudah baligh. Puasa diisyaratkan
pada tahun kedua Hijriah sesudah turunnya perintah shalat dan zakat.
Puasa sudah bermula sejak awal manusia diciptakan di tandai
dengan peristiwa pelarangan Allah SWT kepada nenek kita Adam dan Hawa pada saat
memakan buah khuldi di surga.
Zakat adalah salah rukun Islam. Demikian pentingnya ibadah
ini menduduki posisi ketiga setelah shalat. Allah menyebutkan soal zakat selalu
berdampingan penyebutannya dengan shalat dalam Al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa
keduanya mempunyai arti yang penting dan memiliki hubungan yang erat, shalat
merupakan ibadah jasmaniah yang paling utama sedangkan zakat dipandang
sebagai ibadah harta yang paling mulia.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN IBADAH
Secara etimologi, kata ibadah berasal dari
bahasa Arab, dari kata abdun artinya hamba (abdi), ibadah artinya
pengabdian. Jadi, ibadah dimaksudkan sebagai sarana pengabdian atau penyembahan
kepada Allah.
Secara termonologi, pengertian ibadah banyak
ragamnya sesuai dengan sudut pandang masing-masing ulama, antara lain sebagai
berikut :
1.
Pengertian umum ibadah
ialah : sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya
2.
Menurut - ulama Tauhid,
ibadah ialah : mengesakan Allah, membesarkan-Nya dengan sepenuh-penuhnya, serta
menghinakan diri kita dan menundukkan jiwa kepada-Nya. Ulama tauhid menyamakan
ibadah dengan Tauhid, sesuai dengan Q.S. al-Nisa (4) : 36.
3.
Menurut ulama tasawwuf,
ibadah ialah : perbuatan seorang mukallaf yang berlawanan dengan kehendak hawa
nafsunya dalam rangka mengagungkan Tuhannya. Menurut ulama tasawwuf, ibadah itu
mempunyai tiga bentuk, yaitu :
1.
Mengharapkan pahala dan
terhindar dari siksa-Nya.
2.
Karena memandang bahwa
Allah berhak untuk di sembah tanpa memperdulikan apakah yang akan diperoleh
daripada-Nya.
3.
Karena Allah sangat
dicintainya, sehingga senantiasa berusaha untuk dekat dengan-Nya.
4.
Menurut ulama - fiqhi,
ibadah ialah : segala yang dikerjakan untuk memperoleh ridha Allah dan
mengharapkan pahala di akhirat.
5.
Menurut ulama akhlak,
ibadah ialah : melaksanakan dengan ketaatan badaniya, dan menyelenggarakan
segala ketentuan syariat.
2.
PENGERTIAN, MANFAAT, DAN CARA
Thaharah
Thaharah artinya bersuci. Thaharah menurut
syara' ialah suci dari hadats dan najis.
Suci dari hadats ialah
dengan mengerjakan wudhu, mandi dan tayammum. .
Suci dari najis ialah menghilangkan najis yang
ada di badan, tempat dan pakaian.
Macam-macam Air
Air yang dapat dipakai bersuci ialah air yang
bersih (suci dan mensucikan) yaitu air yang turun dari langit atau keluar dari
bumi yang belum dipakai untuk bersuci.
Air yang suci dan
mensucikan ialah :
1.
Air hujan
2.
Air sumur
3.
Air laut
4.
Air sungai
|
5.
Air salju
6.
Air telaga
7.
Air embun
|
Pembagian Air
Ditinjau dari segi hukumnya,
air itu dapat dibagi empat bagian :
1.
Air suci dan mensucikan,
yaitu air mutlak artinya air yang masih murni, dapat digunakan untuk bersuci
dengan tidak makruh, (air mutlak artinya air yang sewajarnya.
2.
Air suci dan dapat
mensucikan, tetapi rnakruh digunakan, yaitu air musyammas (air yang dipanaskan
dengan matahari) di tempat logam yang bukan emas.
3.
Air suci tetapi tidak
dapat mensucikan, seperti: Air musta'mal (telah digunakan untuk bersuci)
menghilangkan hadats. Atau menghilangkan najis walaupun tidak berubah rupanya,
rasanya dan baunya
4.
Air mutanajis yaitu air
yang kena najis (kemasukan najis), sedang jumlahnya kurang dari dua kullah,
maka air yang semacam ini tidak suci dan tidak dapat mensucikan. Jika lebih
dari dua kullah dan tidak berubah sifatnya, maka sah untuk bersuci.
Dua kullah sama dengan 216 liter, jika berbentuk
bak maka besarnya = panjang 60cm dan dalam / tinggi 60cm.
Macam-Macam Najis
Najis ialah satu benda
yang kotor menurut syara', misalnya :
1.
Bangkai, kecuali manusia, ikan
dan belalang
2.
Darah
3.
Nanah
4.
Segala sesuatu yang
keluar dari kubul dan dubur
5.
Anjing dan babi
6.
Minuman keras seperti
arak dan sebagainya
7.
Bagian anggota badan
binatang yang terpisah karena dipotong dan sebagainya selagi masih hidup.
Pembagian Najis
Najis itu dapat dibagi 3
bagian :
1.
Najis Mukhaffafah
(ringan); ialah
air kencing bayi laki-laki yang belum berumur 2 tahun dan belum pernah makan
suatu kecuali air susu ibunya.
2.
Najis Mughallazhah
(berat); ialah
najis anjing dan babi dan keturunannya
3.
Najis Mutawassithah
(sedang); ialah
najis yang selain dari dua najis tersebut di atas, seperti segala sesuatu yang
keluar dari kubul dan dubur manusia dan binatang, kecuali air mani, barang cair
yang memabukkan, susu hewan yang tidak halal dimakan, bangkai, juga tulang dan
bulunya, kecuali bangkai-bangkai manusia dan ikan serta belalang
Najis mutawassithah
dibagi menjadi dua:
1.
Najis 'ainiyah : ialah najis yang
berwujud, yakni yang nampak dapat dilihat.
2.
Najis hukmiyah : ialah najis yang tidak kelihatan
bendanya, seperti bekas kencing, atau arak yang sudah kering dan sebagainya.
Cara Menghilangkan Najis
1.
Barang yang kena najis
mughallazhah seperti jilatan anjing atau babi, wajib dibasuh 7 kali dan salah
satu di antaranya dengan air yang bercampur tanah.
2.
Barang yang terkena
najis mukhaffafah, cukup diperciki air pada tempat najis itu.
3.
Barang yang terkena
najis mutawassithah dapat suci dengan cara dibasuh sekali, asal sifat-sifat
najisnya (warna, bau dan rasanya) itu hilang. Adapun dengan cara tiga kali
cucian atau siraman lebih baik.
Jika najis hukmiyah cara menghilangkannya cukup
dengan mengalirkan air saja pada najis tadi.
Berwudhu
Wudhu menurut bahasa artinya bersih dan indah,
sedangkan menurut syara’ artinya membersihkan anggota tubuh untuk menghilangkan
hadast kecil.
Syarat-syarat wudhu
1.
Islam
2.
Tamyiz
3.
Tidak berhadats besar
4.
Dengan air suci lagi
mensucikan
5.
Tidak ada sesuatu yang
menghalangi air
Wudhu adalah bersuci dengan air yang dilakukan dengan cara
khusus. Kewajiban berwudhu ditetapkan dengan firman Allah swt., “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki. Dan jika kamu junub, maka mandilah, dan jika
kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan
tanah yang baik (bersih). Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Al-Ma’idah: 6)
Sedangkan dari hadits kita dapati sabda Nabi saw. yang
berbunyi, “Allah tidak akan menerima shalat salah seorang di antaramu jika
berhadats sehingga berwudhu.” (As Syaikhani)
Abu Hurairah r.a. telah merilis tentang keutamaan wudhu.
Bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, “Tidakkah aku tunjukkan kepadamu tentang
amal yang menghapus kesalahan dan meninggikan kedudukan?” Mereka menjawab,
“Mau, ya Rasulullah.” Nabi saw. bersabda, “Menyempurnakan wudhu dalam kondisi yang
tidak menyenangkan, memperbanyak langkah ke masjid, menunggu shalat setelah
shalat. Itulah ribath, itulah ribath, itulah ribath.” (Malik, Muslim, At
Tirmidzi, dan An-Nasa’i)
Ribath adalah keterikatan diri di jalan Allah. Artinya,
membiasakan wudhu dengan menyempurnakannya dan beribadah menyamai jihad fi
sabilillah.
Furudhul
Wudhu
1.
Membasuh muka, para ulama
membatasinya mulai dari batas tumbuh rambut sampai bawah dagu, dari telinga ke
telinga
2.
Membasuh kedua tangan sampai ke siku;
yaitu pergelangan lengan
3.
Mengusap kepala keseluruhannya
menurut Imam Malik dan Ahmad, sebagiannya menurut Imam Abu Hanifah dan Asy
Syafi’iy
4.
Membasuh kedua kaki sampai ke mata
kaki, sesuai dengan sabda Nabi kepada orang yang hanya mengusap kakinya:
“Celaka, bagi kaki yang tidak dibasuh, ia diancam neraka”. Muttafaq alaih
Itulah empat rukun yang tercantum secara tekstual dalam ayat
wudhu di Al-Ma’idah ayat 6. Tapi, masih ada 2 tambah, yaitu:
1.
Niat. Ini menurut Imam Syafi’i,
Malik, dan Ahmad sesuai dengan sabda Nabi saw., “Sesungguhnya semua amal itu
tergantung niat.” (Muttafaq alaih). Urgensi niat adalah untuk membedakan antara
ibadah dari kebiasaan. Namun, tidak disyaratkan melafalkan niat karena niat itu
berada di dalam hati.
2.
Tertib. Maksudnya, berurutan.
Dimulai dari membasuh muka, tangan, mengusap kepala, lalu memabasuh kaki.
Menurut Abu Hanifah dan Malikiyah, melakukan wudhu dengan tertib hukumnya
sunnah.
Sunnah
Wudhu
1.
Membaca Basmalah. Ini adalah sunnah
yang harus diucapkan saat memulai semua pekerjaan. Rasulullah saw. bersabda,
“Berwudhulah dengan menyebut nama Allah.” (Al-Baihaqi)
2.
Bersiwak. Ini sesuai dengan sabda
Nabi saw., “Jika tidak akan memberatkan umatku, akan aku perintahkan mereka
bersiwak setiap kali berwudhu.” (Malik, Asy Syaf’iy, Al-Baihaqi, dan Al-Hakim).
Disunnahkan pula bersiwak bagi orang yang berpuasa, seperti dalam hadits Amir
bin Rabi’ah r.a. berkata, “Aku melihat Rasulullah saw. tidak terhitung
jumlahnya bersiwak dalam keadaan berpuasa.” (Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi).
Menurut Imam Syafi’i, bersiwak setelah bergeser matahari bagi orang yang
berpuasa, hukumnya makruh.
3.
Membasuh dua telapak tangan tiga
kali basuhan di awal wudhu, sesuai hadits Aus bin Aus Ats-Tsaqafiy r.a.
berkata, “Aku melihat Rasulullah saw. berwudhu dan membasuh kedua tangannya
tiga kali.” (Ahmad dan An Nasa’i)
4.
Berkumur, menghisap [1] air ke
hidung dan menyemburkannya keluar. Terdapat banyak hadits tentang hal ini.
Sunnahnya dilakukan secara berurutan, tiga kali, menggunakan air baru,
menghisap air ke hidung dengan tangan kanan dan menyemburkannya dengan tangan
kiri, menekan dalam menghisap kecuali dalam keadaan puasa.
5.
Menyisir jenggot dengan jari-jari
tangan. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkannya dari Utsman dan Ibnu Abbas
r.a.
6.
Mengulang tiga kali basuhan. Banyak
sekali hadits yang menerangkannya
7.
Memulai dari sisi kanan sebelum yang
kiri, seperti dalam hadits Aisyah r.a., “Rasulullah saw. sangat menyukai
memulai dari yang kanan ketika memakai sandal, menyisir, bersuci, dan semua
aktivitasnya.” (Muttafaq alaih)
8.
Menggosok, yaitu menggerakkan tangan
ke anggota badan ketika mengairi atau sesudahnya. Sedang bersambung artinya
terus menerus pembasuhan anggota badan itu tanpa terputus oleh aktivitas lain
di luar wudhu. Hal ini diterangkan dalam banyak hadits. Menggosok menurut
madzhab Maliki termasuk dalam rukun wudhu, sedang terus menerus termasuk dalam
rukun wudhu menurut madzhab Maliki dan Hanbali.
9.
Mengusap dua telinga, seperti yang
diriwayatkan oleh Abu Daud, Ahmad dan At-Thahawiy dari Ibnu Abbas dan Al-Miqdam
bin Ma’ di Kariba
10.
Membasuh bagian depan kepala, dan
memperpanjang basuhan di atas siku dan mata kaki. Seperti dalam hadits Nabi
saw., “Sesungguhnya umatku akan datang di hari kiamat dalam keadaan putih
berseri dari basuhan wudhu.”
11.
Berdoa setelah wudhu, seperti dalam
hadits Ibnu Umar r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada seorangpun di
antara kalian yang berwudhu dan menyempurnakannya, kemudian berdo’a: أَشهَدُ أَنْ لَا إله إلّا اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ له،
وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوله Aku Bersaksi bahwa tiada
Tuhan yang berhak disembah selain Allah, Maha Esa tiada sekutu bagi-Nya, dan
aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Pasti akan
dibukakan baginya pintu-pintu surga yang delapan itu, dan dipersilahkan masuk
dari mana saja.” (Muslim)
12.
Sedangkan doa ketika berwudhu, tidak
pernah ada riwayat yang menerangkan sedikitpun.
13.
Shalat sunnah wudhu dua rakaat,
seperti dalam hadits Uqbah bin Amir r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda,
“Tidak ada seorangpun yang berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, kemudian
shalat dua rakaat dengan menghadap wajah dan hatinya, maka wajib baginya
surga.” (Muslim, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
Cara
Berwudhu
Dari Humran mantan budak Utsman bin Affan r.a. bahwa Utsman
minta diambilkan air wudhu, kemudian ia basuh kedua tangannya tiga kali,
kemudian berkumur, menghisap air ke hidung, menyemburkannya, lalu membasuh
mukanya tiga kali, membasuh tangan kanannya samapai ke siku tiga kali, kemudian
yang kiri seperti itu, kemudian mengusap kepalanya, lalu membasuh kaki kanannya
sampai ke mata kaki tiga kali, dan yang kiri seperti itu. Kemudian Utsman
berkata, “Saya melihat Rasulullah saw. berwudhu seperti wudhuku ini dan
Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini
kemudian shalat dua rakaat, maka akan diampuni dosanya.’” (Muttafaq alaih)
Yang
Membatalkan Wudhu
1.
Segala sesuatu yang keluar dari dua
jalan pembuangan (kencing, tinja, angin, madzi, atau wadi), kecuali mani yang
mengharuskannya mandi. Dalilnya adalah firman Allah swt. “… atau kembali dari
tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan….” (Al-Ma’idah: 6) dan sabda
Nabi saw., “Allah tidak menerima shalat salah seorang di antaramu ketika
berhadats sehingga ia berwudhu.” (Muttafaq alaih). Hadats adalah angin dubur baik
bersuara atau tidak. Sedangkan madzi adalah karena sabda Nabi saw., “Wajibnya
wudhu.” (Muttafaq alaih). Sedangkan wadiy adalah karena ungkapan Ibnu Abbas,
“Basuhlah kemaluanmu, dan berwudhulah sebagaimana wudhu untuk shalat.”
(Al-Baihaqi dalam As-Sunan).
2.
Tidur lelap yang tidak menyisakan
daya ingat, seperti dalam hadits Shafwan bin ‘Assal r.a. berkata, “Rasulullah
saw. pernah menyuruh kami jika dalam perjalanan untuk tidak melepas sepatu kami
selama tiga hari tiga malam, sebab buang air kecil, air besar maupun tidur,
kecuali karena junub.” (Ahmad, An Nasa’i, At-Tirmidzi dan menshahihkannya).
Kata tidur disebutkan bersama dengan buang air kecil dan air besar yang telah
diketahui sebagai pembatal wudhu. Sedang tidur dengan duduk tidak membatalkan
wudhu jika tidak bergeser tempat duduknya. Hal ini tercantum dalam hadits Anas
r.a. yang diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, Muslim, dan Abu Daud, “Adalah para
sahabat Rasulullah saw. pada masa Nabi menunggu shalat Isya’ sehingga kepala
mereka tertunduk, kemudian mereka shalat tanpa berwudhu.”
3.
Hilang akal baik karena gila,
pingsan, mabuk atau obat. Karena hal ini menyerupai tidur dari sisi hilangnya
kesadaran.
Tiga hal itu disepakati sebagai pembatal wudhu, tapi para
ulama berbeda pendapat dalam beberapa hal berikut ini:
1. Menyentuh kemaluan tanpa
sekat, membatalkan wudhu menurut Syafi’i dan Ahmad, seperti dalam hadits Busrah
r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya
hendaklah ia berwudhu.” (Al-Khamsah dan disahihkan oleh At-Tirmidziy dan Ibnu
Hibban). Al-Bukhari berkata, “Inilah yang paling shahih dalam bab ini.” Telah
diriwayatkan pula hadits yang mendukungnya dari tujuh belas orang sahabat.
2. Darah yang mengucur,
membatalkan wudhu menurut Abu Hanifah, seperti dalam hadits Aisyah r.a. bahwa
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang muntah atau mengeluarkan darah,
maka berpaling dan berwudhulah.” (Ibnu Majjah dan didhaifkan oleh Ahmad, dan
Al-Baihaqi). Dan menurut Asy-Syafi’i dan Malik bahwa keluarnya darah tidak
membatalkan wudhu. Karena hadits yang menyebutkannya tidak kuat menurutnya,
juga karena hadits Anas r.a., “Bahwa Rasulullah saw. dibekam dan shalat tanpa
wudhu lagi.” Hadits ini meskipun tidak sampai pada tingkat shahih, tapi banyak didukung
hadits lain yang cukup banyak. Al-Hasan berkata, “Kaum muslimin melaksanakan
shalat dengan luka-luka mereka.” (Al-Bukhari)
3. Muntah yang banyak dan
menjijikkan, seperti dalam hadits Ma’dan bin Abi Thalahah dari Abu Darda’,
“Bahwa Rasulullah saw. muntah lalu berwudhu.” Ia berkata, kemudian aku berjumpa
dengan Tsauban di Masjid Damaskus, aku tanyakan kepadanya tentang ini. Ia
menjawab, “Betul, saya yang menuangkan air wudhunya.” (At-Tirmidzi dan
mensahihkannya). Demikiamlah Madzhab Hanafi. Dan menurut Syafi’i dan Malik,
muntah tidak membatalkan wudhu karena tidak ada hadits yang memerintahkannya.
Hadits Ma’dan di atas dimaknai istihbab/sunnah.
4. Menyentuh lawan jenis atau
bersalaman, membatalkan wudhu menurut Mazhab Syafi’i dengan dalil firman Allah
swt. Al-Ma’idah ayat 6. Tidak membatalkan menurut Jumhurul Ulama karena
banyaknya hadits yang menyatakan tidak membatalkannya. Diantaranya hadits
Aisyah r.a., “Bahwa Rasulullah saw. mencium isterinya, kemudian shalat tanpa
berwudhu.” (Ahmad dan Imam empat). Juga ucapan Aisyah r.a., “Saya tidur di
hadapan Rasulullah dan kakiku ada di arah kiblatnya, jika ia hendak sujud ia
memindahkan kakiku.” (Muttafaq alaih). Tidak ada bedanya dalam pembatalan ini,
apakah wanita itu isteri atau bukan. Sedang jika menyentuh mahram, tidak
membatalkan wudhu.
5. Tertawa terbahak ketika
shalat yang ada rukuk dan sujudnya, membatalkan wudhu menurut Madzhab Hanafi
karena ada hadits, “… kecuali karena tertawa terbahak-bahak, maka ulangilah
wudhu dan shalat semuanya.” Sedang menurut jumhurul ulama, tertawa
terbahak-bahak membatalkan shalat, tetapi tidak membatalkan wudhu karena hadits
tersebut tidak kuat sebagai hadits yang membatalkan wudhu. Juga karena hadits
Nabi saw., “Tertawa itu membatalkan shalat, dan tidak membatalkan wudhu.”
Demikian Imam Bukhari mencatatnya sebagai hadits mauquf dari Jabir. Pembatalan
wudhu karena tertawa membutuhkan dalil, dan tidak ditemukan dalil yang kuat.
6. Jika orang yang berwudhu ragu
apakah sudah batal atau belum? Tidak membatalkan wudhu sehingga ia yakin bahwa
telah terjadi sesuatu yang membatalkan wudhu. Karena hadits Nabi saw.
menyatakan, “Jika salah seorang diantaramu merasakan sesuatu di perutnya, lalu
dia ragu apakah sudah keluar sesuatu atau belum, maka janganlah keluar masjid
sehingga ia mendengar suara atau mendapati baunya.” (Muslim, Abu Daud dan
At-Tirmidzi). Sedang jika ragu apakah sudah wudhu atau belum, ia wajib berwudhu
sebelum shalat.
Kapan
Wudhu Menjadi Wajib dan Kapan Sunnah
Wudhu menjadi wajib jika:
1.
Untuk shalat, baik shalat fardhu
maupun sunnah. Meskipun shalat jenazah, karena firman Allah swt., “…jika kamu
mau shalat, maka hendaklah kamu basuh.” (Al-Maidah: 6)
2.
Thawaf di Ka’bah, karena hadits Nabi
saw., “Thawaf adalah shalat.” (At-Tirmidziy dan Al-Hakim)
3.
Menyentuh mushaf, karena hadits Nabi
saw., “Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.” (An-Nasa’i dan
Ad-Daruquthni). Demikianlah pendapat jumhurul ulama. Ibnu Abbas, Hammad, dan
Zhahiriyah berpendapat bahwa menyentuh mushaf boleh dilakukan oleh orang yang
belum berwudhu, jika telah bersih dari hadats besar. Sedangkan membaca
Al-Qur’an tanpa menyentuh mushaf, semua sepakat memperbolehkan.
Wudhu menjadi sunnah:
1.
Ketika dzikrullah. Pernah ada
seseorang yang memberi salam kepada Nabi saw. yang sedang berwudhu, dan Nabi
tidak menjawab salam itu sehingga menyelesaikan wudhunya dan bersabda,
“Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku menjawab salammu, kecuali karena aku
tidak ingin menyebut nama Allah kecuali dalam keadaan suci.” (Al-Khamsah,
kecuali At Tirmidzi).
2.
Ketika hendak tidur, seperti hadits
Nabi saw., “Jika kamu mau tidur hendaklah berwudhu sebagaimana wudhu shalat.”
(Ahmad, Al-Bukhari dan At Tirmidzi)
3.
Bagi orang junub yang hendak makan,
minum, mengulangi hubungan seksual, atau tidur. Demikianlah yang diriwayatkan
dari Rasulullah saw oleh Bukhari, Muslim dan muhadditsin lainnya.
4.
Disunnahkan pula ketika memulai
mandi, seperti yang disebutkan dalam hadits Aisyah r.a.
5.
Disunnahkan pula memperbaharui wudhu
setiap shalat, seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan kebanyakan
ulama hadits.
Shalat
1.
Definisi &
Pengertian Sholat Fardhu / Wajib Lima Waktu
Menurut bahasa shalat artinya adalah berdoa,
sedangkan menurut istilah shalat adalah suatu perbuatan serta perkataan yang
dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam sesuai dengan persyaratan yang
ada.
2.
Hukum, Tujuan dan Syarat
Solat Wajib Fardhu 'Ain
Hukum sholat fardhu lima kali sehari adalah
wajib bagi semua orang yang telah dewasa atau akil baligh serta normal tidak
gila. Tujuan shalat adalah untuk mencegah perbuatan keji dan munkar.
Untuk melakukan shalat ada syarat-syarat yang harus dipenuhi dulu,
yaitu :
1.
Beragama Islam
2.
Memiliki akal yang waras
alias tidak gila atau autis
3.
Berusia cukup dewasa
4.
Telah sampai dakwah
islam kepadanya
5.
Bersih dan suci dari
najis, haid, nifas, dan lain sebagainya
6.
Sadar atau tidak sedang
tidur
Syarat sah pelaksanaan sholat adalah sebagai berikut ini :
1.
Masuk waktu sholat
2.
Menghadap ke kiblat
3.
Suci dari najis baik
hadas kecil maupun besar
4.
Menutup aurat
Rukun Shalat
Dalam sholat ada rukun-rukun yang harus kita jalankan, yakni :
1.
Niat
2.
Posisis berdiri bagi
yang mampu
3.
Takbiratul ihram
4.
Membaca surat al-fatihah
5.
Ruku / rukuk yang
tumakninah
6.
I'tidal yang tuma'ninah
7.
Sujud yang tumaninah
8.
Duduk di antara dua
sujud yang tuma'ninah
9.
Sujud kedua yang
tuma'ninah
10.
Tasyahud
11.
Membaca salawat Nabi
Muhammad SAW
12.
Salam ke kanan lalu ke
kiri
Yang Membatalkan Aktivitas Sholat Kita
Dalam melaksanakan ibadah shalat, sebaiknya kita
memperhatikan hal-hal yang mampu membatalkan shalat kita, contohnya seperti :
1.
Menjadi hadas / najis
baik pada tubuh, pakaian maupun lokasi
2.
Berkata-kata kotor
3.
Melakukan banyak gerakan
di luar sholat bukan darurat
4.
Gerakan sholat tidak
sesuai rukun shalat dan gerakan yang tidak tuma'ninah.
Faedah
Puasa
Arti puasa menurut bahasa adalah
menahan. Menurut syariat islam puasa adalah suatu bentuk aktifitas ibadah
kepada Allah SWT dengan cara menahan diri dari makan, minum, hawa nafsu, dan
hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa sejak terbit matahari / fajar / subuh
hingga matahari terbenam / maghrib dengan berniat terlebih dahulu sebelumnya.
Puasa
mempunyai banyak faedah bagi rohani dan jasmani kita, antara lain:
1.
Puasa adalah ketundukan, kepatuhan,
dan keta'atan kepada Allah swt., maka tiada balasan bagi orang yang
mengerjakannya kecuali pahala yang melimpah-ruah dan baginya hak masuk surga
melalui pintu khusus bernama 'Ar-Rayyan'. Orang yang berpuasa juga dijauhkan
dari azab pedih serta dihapuskan seluruh dosa-dosa yang terdahulu. Patuh kepada
Allah Swt berarti meyakini dimudahkan dari segala urusannya karena dengan puasa
secara tidak langsung kita dituntun untuk bertakwa, yaitu mengerjakan segala
perintahnya dan menjauhi larangannya. Sebagaimana yang terdapat pada surat
Al-Baqarah: 183, yang berbunyi ; "Hai orang-orang yang beriman diwajibkan
bagi kamu untuk berpuasa sebagaimana orang-orang sebelum kamu, supaya kamu
bertakwa".
2.
Berpuasa juga merupakan sarana untuk
melatih diri dalam berbagai masalah seperti jihad nafsi, melawan gangguan
setan, bersabar atas malapetaka yang menimpa. Bila mencium aroma masakan yang
mengundang nafsu atau melihat air segar yang menggiurkan kita harus menahan
diri sampai waktu berbuka. Kita juga diajarkan untuk memegang teguh amanah
Allah swt, lahir dan batin, karena tiada seorangpun yang sanggup mengawasi kita
kecuali Ilahi Robbi.
Adapun
puasa melatih menahan dari berbagai gemerlapnya surga duniawi, mengajarkan
sifat sabar dalam menghadapi segalaa sesuatu, mengarahkan cara berfikir sehat
serta menajamkan pikiran (cerdas) karena secara otomatis mengistirahatkan roda
perjalanan anggota tubuh. Lukman berwasiat kepada anaknya :"Wahai anakku,
apabila lambung penuh, otak akan diam maka seluruh anggota badan akan malas
beribadah".
3.
Dengan puasa kita diajarkan untuk
hidup teratur, karena menuntun kapan waktu buat menentukan waktu menghidangkan
sahur dan berbuka. Bahwa berpuasa hanya dirasakan oleh umat Islam dari munculnya
warna kemerah-merahan di ufuk timur hingga lenyapnya di sebelah barat. Seluruh
umat muslim sahur dan berbuka pada waktu yang telah ditentukan karena agama dan
Tuhan yang satu.
4.
Begitupun juga menumbuhkan bagi
setiap individu rasa persaudaraan serta menimbulkan perasaan untuk saling
menolong antar sesama. Saling membahu dalam menghadapi rasa lapar, dahaga dan
sakit. Disamping itu mengistirahatkan lambung agar terlepas dari bahaya
penyakit menular misalnya. Rasulullah Saw bersabda, "Berpuasalah kamu
supaya sehat". Seorang tabib Arab yang terkenal pada zamannya yaitu Harist
bin Kaldah mengatakan bahwa lambung merupakan sumber timbulnya penyakit dan
sumber obat penyembuh".
Hari-hari yang dilarang untuk puasa,
yaitu :
o
Saat lebaran idul fitri 1 syawal dan
idul adha 10 dzulhijjah
o Hari tasyriq : 11, 12, dan 13
zulhijjah
Puasa memiliki fungsi dan manfaat
untuk membuat kita menjadi tahan terhadap hawa nafsu, sabar, disiplin, jujur,
peduli dengan fakir miskin, selalu bersyukur kepada Allah SWT dan juga untuk
membuat tubuh menjadi lebih sehat.
Orang yang diperbolehkan untuk
berbuka puasa sebelum waktunya adalah :
o
Dalam perjalanan jauh 80,640 km
(wajib qodo puasa)
o
Sedang sakit dan tidak dapat
berpuasa (wajib qodo puasa)
o
Sedang hamil atau menyusui (wajib
qada puasa dan membayar fidyah)
o Sudah tua renta atau sakit yang
tidak sembuh-sembuh (wajib membayar fidyah ¾ liter beras atau bahan makanan
lain)
1.
Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan hukumnya adalah wajib
bagi orang yang sehat. Sedangkan bagi yang sakit atau mendapat halangan dapat
membayar puasa ramadhan di lain hari selain bulan ramadan. Puasa ramadhan
dilakukan selama satu bulan penuh di bulan romadhon kalender hijriah / islam.
Puasa ramadhan diakhiri dengan datangnya bulan syawal di mana dirayakan dengan
lebaran ied / idul fitri.
2.
Puasa Senin Kamis
Puasa senin kamis hukumnya adalah
sunah / sunat di mana tidak ada kewajiban dan paksaan untuk menjalankannya.
Pelaksanaan puasa senin kamis mirip dengan puasa lainnya hanya saja
dilakukannya harus pada hari kamis dan senin saja, tidak boleh di hari lain.
3.
Puasa Nazar
Untuk puasa nazar hukumnya wajib
jika sudah niat akan puasa nazar. Jika puasa nazar tidak dapat dilakukan maka
dapat diganti dengan memerdekakan budak / hamba sahaya atau memberi makan /
pakaian pada sepuluh orang miskin. Puasa nazar biasanya dilakukan jika ada
sebabnya yang telah diniatkan sebelum sebab itu terjadi. Nazar dilakukan jika
mendapatkan suatu nikmat / keberhasilan atau terbebas dari musibah /
malapetaka. Puasa nazar dilakukan sebagai tanda syukur kepada Allah SWT atas
ni'mat dan rizki yang telah diberikan.
4.
Puasa Bulan Syaban / Nisfu Sya'ban
Puasa nisfu sya'ban adalah puasa
yang dilakukan pada awal pertengahan di bulan syaban. Pelaksanaan puasa syaban
ini mirip dengan puasa lainnya.
5.
Puasa Pertengahan Bulan
Puasa pertengahan bulan adalah puasa
yang dilakukan pada tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan sesuai tanggalan
hijriah. Pelaksanaan puasa pertengahan bulan mirip dengan puasa lainnya.
6.
Puasa Asyura
Puasa asyura adalah puasa yang
dilakukan pada tanggal 10 di bulan muharam / muharram. Pelaksanaan puasa assyura
mirip dengan puasa lainnya.
7.
Puasa Arafah
Puasa arafah adalah puasa yang
dilaksanakan pada tanggal 9 di bulan zulhijah untuk orang-orang yang tidak
menjalankan ibadah pergi haji. Pelaksanaan arafah mirip dengan puasa lainnya.
8.
Puasa Syawal
Puasa syawal dikerjakan pada 6 hari
di bulan syawal. Puasa syawal boleh dilakukan pada 6 hari berturut-turut
setelah lebaran idul fitri. Pelaksanaan arafah mirip dengan puasa lainnya.
Zakat
Zakat
Fitrah ialah zakat diri yang diwajibkan atas diri setiap individu lelaki dan
perempuan muslim yang berkemampuan dengan
syarat-syarat yang ditetapkan. Kata Fitrah
yang ada merujuk pada keadaan manusia saat baru diciptakan sehingga dengan
mengeluarkan zakat ini manusia dengan izin Allah
akan kembali fitrah.
1.
Yang berkewajiban membayar
Pada
prinsipnya seperti definisi di atas, setiap muslim diwajibkan untuk mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya ,
keluarganya dan orang lain yang menjadi tanggungannya baik orang dewasa, anak
kecil, laki-laki maupun wanita. Berikut adalah syarat yang menyebabkan individu
wajib membayar zakat fitrah:
·
Individu
yang mempunyai kelebihan makanan atau hartanya dari keperluan tanggungannya
pada malam dan pagi hari raya.
·
Anak
yang lahir sebelum matahari jatuh pada akhir bulan Ramadhan dan hidup selepas
terbenam matahari.
·
Memeluk
Islam sebelum terbenam matahari pada akhir bulan Ramadhan dan tetap dalam
Islamnya.
·
Seseorang
yang meninggal selepas terbenam matahari akhir Ramadhan.
2.
Besar Zakat
Besar
zakat yang dikeluarkan menurut para ulama adalah sesuai penafsiran terhadap hadits adalah sebesar satu sha' atau kira-kira setara dengan 3,5
liter atau 2.5 kg makanan pokok (tepung, kurma, gandum, aqith) atau yang biasa dikonsumsi di daerah
bersangkutan (Mazhab syafi'i dan Maliki)
3.
Waktu Pengeluaran
Zakat
Fitrah dikeluarkan pada bulan Ramadhan,
paling lambat sebelum orang-orang selesai menunaikan Shalat Ied. Jika waktu penyerahan melewati batas ini maka yang
diserahkan tersebut tidak termasuk dalam kategori zakat melainkan sedekah biasa.
4.
Penerima Zakat
Penerima
Zakat secara umum ditetapkan dalam 8 golongan/asnaf (fakir, miskin, amil,
muallaf, hamba sahaya, gharimin, fisabilillah, ibnu sabil) namun menurut
beberapa ulama khusus untuk zakat fitrah mesti didahulukan kepada dua golongan
pertama yakni fakir dan miskin. Pendapat ini disandarkan dengan alasan bahwa jumlah/nilai
zakat yang sangat kecil sementara salah satu tujuannya dikelurakannya zakat
fitrah adalah agar para fakir dan miskin dapat ikut merayakan hari raya.
5.
Sumber Hadits berkenaan dengan Zakat Fitrah
·
Diriwayatkan
dari Ibnu Umar t.ia berkata : Rasulullah telah mewajibkan zakat fithrah dari
bulan Ramadhan satu sha' dari kurma, atau satu sha' dari sya'iir. atas seorang
hamba, seorang merdeka, laki-laki, wanita, anak kecil dan orang dewasa dari
kaum muslilmin. (H.R : Al-Bukhary dan Muslim)
·
Diriwayatkan
dari Umar bin Nafi' dari ayahnya dari Ibnu Umar ia berkata ; Rasulullah telah
mewajibkan zakat fithrah satu sha' dari kurma atau satu sha' dari sya'iir atas
seorang hamba, merdeka, laki-laki, wanita, anak kecil dan orang dewasa dari
kaum muslimin dan beliau memerintahkan agar di tunaikan / dikeluarkan sebelum
manusia keluar untuk shalat 'ied. (H. R : Al-Bukhary, Abu Daud dan Nasa'i)
·
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas ra. ia berkata : Rasulullah saw telah memfardhukan zakat
fithrah untuk membersihkan orang yang shaum dari perbuatan sia-sia dan dari
perkataan keji dan untuk memberi makan orang miskin. Barang siapa yang
mengeluarkannya sebelum shalat, maka ia berarti zakat yang di terima dan barang
siapa yang mengeluarkannya sesudah shalat 'ied, maka itu berarti shadaqah
seperti shadaqah biasa (bukan zakat fithrah). (H.R : Abu Daud, Ibnu Majah dan
Daaruquthni)
·
Diriwayatkan
dari Hisyam bin urwah dari ayahnya dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. bersabda
: Tangan di atas (memberi dan menolong) lebih baik daripada tangan di bawah
(meminta-minta), mulailah orang yang menjadi tanggunganmu (keluarga dll) dan
sebaik-baik shadaqah adalah yang di keluarkan dari kelebihan kekayaan (yang di
perlukan oleh keluarga) (H.R : Al-Bukhary dan Ahmad)
·
Diriwayatkan
dari Ibnu Umar ra. ia berkata : Rasulullah sw. memerintahkan untuk mengeluarkan
zakat fithrah unutk anak kecil, orang dewasa, orang merdeka dan hamba sahaya
dari orang yang kamu sediakan makanan mereka (tanggunganmu). (H.R :
Daaruquthni, hadits hasan)
·
Artinya
: Diriwayatkan dari Nafi' t. berkata : Adalah Ibnu Umar menyerahkan (zakat
fithrah) kepada mereka yang menerimanya (panitia penerima zakat fithrah / amil)
dan mereka (para sahabat) menyerahkan zakat fithrah sehari atau dua hari
sebelum 'iedil fitri. (H.R.Al-Bukhary)
·
Diriwayatkan
dari Nafi' : Bahwa sesungguhnya Abdullah bin Umar menyuruh orang mengeluarkan
zakat fithrah kepada petugas yang kepadanya zakat fithrah di kumpulkan (amil)
dua hari atau tiga hari sebelum hari raya fitri. (H.R: Malik)
TABEL PERHITUNGAN ZAKAT
|
|||
ZAKAT HARTA
|
|||
MACAM ZAKAT
|
NISHAB
|
ZAKAT YANG
|
WAKTU
|
DIKELUARKAN
|
|||
EMAS
|
85 gram
|
2.5%
|
1 Tahun
|
PERAK
|
595 gram
|
2.5%
|
1 Tahun
|
UANG
|
Senilai 595 gram perak
|
2.5%
|
1 Tahun
|
BARANG DAGANGAN
|
Senilai 595 gram perak
|
2.5%
|
1 Tahun
|
HARTA TEMUAN
|
Tidak ada nishob
|
20%
|
Ketika ditemukan
|
HASIL TAMBANG
|
Senilai nishob emas
& perak
|
2.5%
|
1 Tahun
|
(Emas dan Perak)
|
|||
KAMBING
|
40 s/d 120 ekor
|
1 ekor kambing betina
|
1 Tahun
|
121 s/d 200 ekor
|
2 ekor kambing betina
|
||
201 s/d 300 ekor
|
3 ekor kambing betina
|
||
300 ekor lebih
|
Setiap 100 ekor,
zakatnya
|
||
1 ekor kambing betina
|
|||
SAPI DAN KERBAU
|
30 ekor
|
1 ekor sapi
jantan/betina umur 1 th
|
1 Tahun
|
40 ekor
|
1 ekor sapi
jantan/betina umur 2 th
|
||
60 s/d 69 ekor
|
2 ekor sapi umur 1 th
|
||
70 s/d 79 ekor
|
1 ekor sapi betina
umur 2 th &
|
||
1 ekor sapi umur 1 th
jantan/betina
|
|||
80 ekor lebih
|
Setiap 30 ekor,
zakatnya 1 ekor sapi
|
||
jantan/betina umur 1
th
|
|||
Dan setiap 40 ekor,
zakatnya 1 ekor
|
|||
sapi betina umur 2 th
|
|||
ONTA
|
5 s/d 9 ekor
|
1 ekor kambing
|
1 Tahun
|
10 s/d 14 ekor
|
2 ekor kambing
|
||
15 s/d 19 ekor
|
3 ekor kambing
|
||
20 s/d 24 ekor
|
4 ekor kambing
|
||
25 s/d 35 ekor
|
1 ekor unta betina
umur 1 th
|
||
36 s/d 45 ekor
|
1 ekor unta betina
umur 2 th
|
||
46 s/d 60 ekor
|
1 ekor unta betina umur
3 th
|
||
61 s/d 75 ekor
|
1 ekor unta betina
umur 4 th
|
||
76 s/d 90 ekor
|
2 ekor unta betina
umur 2 th
|
||
91 s/d 120 ekor
|
2 ekor unta betina
umur 3 th
|
||
120 ekor lebih
|
Setiap 40 ekor,
zakatnya 1 ekor
|
||
unta betina umur 2 th
|
|||
Dan setiap 50 ekor,
zakatnya 1 ekor
|
|||
unta betina umur 3 th
|
|||
HASIL PERTANIAN
|
652,8 Kg
|
10 % tadah hujan
|
Ketika Panen
|
5 % irigasi dengan
biaya/beban
|
|||
PENERIMA
|
8 Golongan: Fakir, Miskin, Amil Zakat, Muallaf, Budak, Orang yang
berhutang, Fi Sabilillah, Musafir
|
||
ZAKAT FITRI
|
|||
Memiliki kelebihan
|
|||
bahan makanan
|
3 kg per jiwa (bahan
makanan
|
Akhir bulan
|
|
ZAKAT FITRI
|
pokok untuk diri
|
pokok yang biasa
dikonsumsi)
|
Ramadhan
|
sendiri dan orang
|
sampai sebelum
|
||
yang ditanggung (anak,
|
shalat 'idul fitri
|
||
istri, orang tua,
pembantu, dll)
|
|||
PENERIMA
|
Fakir, Miskin
|
||
Maraji':
|
|||
1. Ad-Durorul Bahiyyah,
Al-Imam Asy-Syaukani
|
|||
2. Al-Adillatur
Rhodiyyah, Muhammad Subhi Hassan Hallaq
|
|||
4. Taudhihul Ahkam,
Asy-Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam
|
|||
3. At-Ta'liq 'Ala Kitabiz
Zakati wash Shiyam min 'Umdatil Ahkam, Abu Abdillah Zayid bin Hasan bin
Sholih al-Umari al-Wushobi
|
No comments:
Post a Comment